Satu Bait untuk Keysha
Hai alir waktu, aku sudah teramat bosan tenggelam bersamamu.
Hari ini ingin ku awali dengan bait saja,
yang akan bercerita tentang pesona.
—-
"Hai, Keysha?"
"Sudah lama menunggu?"
"10 menit yang lalu sebelum kau bertanya."
—-
Bagaimana bisa aku menahan tanganku untuk tidak menggoreskan tinta di buku kecilku sesaat setelah aku menatap dengan jelas lengkung indah pada bibirnya. Tepat setelah nama itu disebutkan.
April, 01.
Pada senyumnya aku melihat pagi
—-
"Kau dimana, Sha?
Hm baiklah, mungkin esok lebih baik.”
—-
Sama seperti hari sebelumnya, di kedai kopi favorit. Seduhan kopi untuk mengawali pagi. Lewat sudut yang menggambarkan sebuah penantian. Lewat sudut yang ikut menanti dan mata yang enggan jenuh. Hanya ada aku dan kopi di sudut kedai, pria kemarin dan telepon genggam di sebrang pandangan.
April, 02.
Aku tetap ingin disini bersama pagi walau tanpa mata dan hari
—-
"Kau pasti tiba 10 menit yang lalu, kan?"
"Haha tepat seperti kalimatmu, Sha. Ayo duduk! Jadi kapan kau berangkat ke Prancis?"
"Sore ini."
"Kau yakin tak akan rindu pada kedai ini? Haha"
"Tidak untuk sosok setia di sudut sana."
Tersenyum. Lalu pergi.
—-
Hari ini, masih seperti hari berlalu. Bagaimana bisa kami saling memperhatikan sedang sepatah atau dua patah kata pun tak pernah kami utarakan. Sedang untuk dua cangkir kopi pun tak pernah kami habiskan bersama. Apalagi duduk berhadapan. Bagaimana bisa hanya sesingkat ini? Sesingkat senyumnya yang teduh. Menatap untuk sepersekian detik saja, sambil tersenyum. Lalu pergi bersama matahari yang menuju Barat. Dan aku masih di sudut kedai ini. Bersama kopi, buku kecilku, dan penantian yang entah sampai kapan.
April, 03.
Aku enggan berkelana
Seperti senja yang enggan melukis malam
Hari ini ingin ku awali dengan bait saja,
yang akan bercerita tentang pesona.
—-
"Hai, Keysha?"
"Sudah lama menunggu?"
"10 menit yang lalu sebelum kau bertanya."
—-
Bagaimana bisa aku menahan tanganku untuk tidak menggoreskan tinta di buku kecilku sesaat setelah aku menatap dengan jelas lengkung indah pada bibirnya. Tepat setelah nama itu disebutkan.
April, 01.
Pada senyumnya aku melihat pagi
—-
"Kau dimana, Sha?
Hm baiklah, mungkin esok lebih baik.”
—-
Sama seperti hari sebelumnya, di kedai kopi favorit. Seduhan kopi untuk mengawali pagi. Lewat sudut yang menggambarkan sebuah penantian. Lewat sudut yang ikut menanti dan mata yang enggan jenuh. Hanya ada aku dan kopi di sudut kedai, pria kemarin dan telepon genggam di sebrang pandangan.
April, 02.
Aku tetap ingin disini bersama pagi walau tanpa mata dan hari
—-
"Kau pasti tiba 10 menit yang lalu, kan?"
"Haha tepat seperti kalimatmu, Sha. Ayo duduk! Jadi kapan kau berangkat ke Prancis?"
"Sore ini."
"Kau yakin tak akan rindu pada kedai ini? Haha"
"Tidak untuk sosok setia di sudut sana."
Tersenyum. Lalu pergi.
—-
Hari ini, masih seperti hari berlalu. Bagaimana bisa kami saling memperhatikan sedang sepatah atau dua patah kata pun tak pernah kami utarakan. Sedang untuk dua cangkir kopi pun tak pernah kami habiskan bersama. Apalagi duduk berhadapan. Bagaimana bisa hanya sesingkat ini? Sesingkat senyumnya yang teduh. Menatap untuk sepersekian detik saja, sambil tersenyum. Lalu pergi bersama matahari yang menuju Barat. Dan aku masih di sudut kedai ini. Bersama kopi, buku kecilku, dan penantian yang entah sampai kapan.
April, 03.
Aku enggan berkelana
Seperti senja yang enggan melukis malam
Label: cerpen
Desember 12, 2013 @ 22.04 / 0 daisies